Benci Matematika

, , No Comments

Dalam sistim pendidikan kita saat ini tidak ada pengelompokan siswa berdasarkan kecenderungan dasar kesadarannya. Kita telah membahas di atas tentang beberapa jenismanusia. Sebagian memiliki kecenderungan emosional, sebagian intelektual dan sebagian lagi memiliki kecenderungan instinktif. Siswa yang memiliki kecenderungan emosional adalah mereka yang paling cocok dengan bidang seni seperti sastra, seni suara, seni lukis dan semua seni lainnya. Persepsi mereka dalam kehidupan didominasi dengan kekuatan perasaan yang besar dan sensitif sekali terhadap keindahan. Siswa yang cenderung aktif pusat intelektualnya akan cocok di bidang yang memerlukan analisa pasti seperti sains dan riset. Sedangkan siswa yang cenderung pada pusat instinktif akan selaras apabila dia ditempatkan di bidang yang membutuhkan kecakapan fisik seperti sport dan militer.

Tidak menutup kemungkinan adanya kombinasi dari dua pusat namun ini hal yang sangat jarang terjadi. Mengapa anak anda sering mengeluh saat pelajaran matematika ? karena dirinya mungkin didominasi oleh dua pusat yang lain selain pusat intelektual, sehingga pelajaran itu tidak menarik baginya. Ketika ia bertemu dengan pengajar matematika yang salah dan menggeneralisir semua anak sama karakternya maka jangan salahkan apabila ia “benci” pelajaran matematika. Anak anda tidak bodoh, Ia hanya memiliki perangkat kesadaran lain yang kurang cocok dengan dunia eksak.



   Lalu timbul pertanyaan bagaimana cara supaya anak dominan insting dan emosi bisa belajar matematika ? Caranya sebenarnya sangat sederhana. Walaupun anak anda didominasi oleh pusat insting namun bagian lain berupa pusat emosi dan intelektual sebenarnya tetap ada. Metode yang harus dilakukan hanya menggabungkan pusat yang mendominasi tersebut agar mau mempelajari matematika dengan menggabungkan pelajaran matematika dengan pelajaran olahraga. Misalnya, tarik rasa penasarannya pada matematika dengan cara menghitung sudut tendangan bola, mengkalkulasi jarak tempuh lari, menghitung kekuatan angkat beban dan sebagainya. Ini merupakan kombinasi yang paling efektif untuk menggerakkan tiga pusat sekaligus. Intinya, semakin anak senang maka pola pembelajaran akan semakin diserap oleh neuron otaknya.

Barangkali hal ini sudah diimplementasikan lewat kurikulum 2013, namun sebenarnya tidak beda jauh dengan kurikulum yang telah lalu; semua anak dianggap sama, diberi pelajaran yang sama, dan dididik dengan metode yang sama. Memang akan memakan banyak sumber daya apabila siswa akan diberi pendidikan dengan teknik kesadaran dominan karena buku bagi masing-masing anak pasti berbeda sesuai dengan karakternya. Manajemen kelas dan pengajar akan lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak sumber daya. Namun berpulang pada tujuan pendidikan yang sesungguhnya yaitu untuk memaksimalkan potensi masing-masing siswa. Tidak ada siswa yang bodoh dan nakal, mereka hanya belum bertemu dengan sistim pengajaran yang sesuai dengan dirinya. Tugas kita sebagai orang tua dan gurulah yang harus memunculkan potensi terbaik mereka, anak-anak kita. Siswa yang paling terlihat bodoh di kelas siapa tahu dia ternyata memiliki bakat menjadi seorang olahragawan handal. Siswa yang paling pintar matematika siapa tahu dia tidak bisa memnajemen emosinya dengan baik sehingga depresi saat menghadapi perundungan. Semua ini memerlukan metode baru, integrasi antar pusat dalam kesadaran siswa. Integrasi ini yang akan bisa membuat siswa menjadi manusia seutuhnya, memiliki kecerdasan moral dan emosi, memilki cukup intelektualitas dan empati terhadap lingkungan. 

0 Comments:

Posting Komentar